Dieng, Dihyang: Tempatnya Para Dewa

yessi
5 min readJun 30, 2024

--

Dieng Plateau, Wonosobo, Jawa Tengah

Hal yang selalu bikin ketagihan dari jalan-jalan adalah cerita-cerita yang gue temukan, dapatkan atau alami sepanjang perjalanan.

Sebelum akhirnya pergi ke Dieng, gue selalu tertarik dengan ceritanya, and I am a huge sucker for a damn good story.

Dieng berasal dari kata dihyang yang artinya: di sebuah tempat yang tinggi, atau bisa juga di atas langit. Masyarakat pada jaman dulu mempercayai bahwa dataran tinggi adalah tempat yang suci dan mengagumkan, karena di sanalah tempat para dewa tinggal. Tentunya masyarakat menganggap bahwa para dewa adalah para entitas suci yang agung, yang punya karakteristik dan garis hidup yang jauh berbeda dari masyarakat biasa. Gue, seperti masyarakat jaman dulu, juga jadi tertarik untuk tahu, ada apa di dataran tinggi sana? Pastinya ada banyak hal yang tidak bisa (dan mungkin tidak pernah) gue lihat sebagai orang yang tinggal di daratan 0 mdpl (atau 5 tahun sekali bahkan bisa -x mdpl).

Akhirnya di bulan November kemarin datang juga kesempatan untuk bisa ke Dieng. Perjalanan diawali dengan menuju terminal Tanjung Priok untuk naik bis jurusan Wonosobo. Setibanya di Terminal Mendolo, ada 2 bus lagi yang harus dinaiki sampai akhirnya bisa sampai ke Dieng.

Perjalanan menuju Wonosobo saja sudah sangat berkesan buat gue. Di suatu malam gue terbangun dalam kondisi tubuh yang bergoyang ke kanan dan ke kiri. Tentu saja gue awalnya kebingungan, apakah sedang terjadi gempa? Apakah gue bermimpi? Apa yang terjadi?

Setelah memaksakan kedua mata untuk terbuka sepenuhnya, barulah gue menyadari bahwa bus sedang melaju kencang-kencangnya dan goyangan yang gue rasakan diakibatkan oleh bus yang berpindah lajur dalam kecepatan tinggi.

Pengalaman ini akhirnya mengingatkan gue dengan sebuah words of encouragement dari seorang kolega:

“Kamu perlu ngerasain naik bus AKAP Jawa setidaknya sekali seumur hidupmu. Itu baru pengalaman hidup yang sebenarnya.”

Setelah terbangun di pagi buta di dalam bis yang terisi tidak sampai setengahnya dan sedang melaju kencang-kencangnya, barulah gue paham apa arti dari words of encouragement itu.

Berkat takdir dan lindungan Tuhan, akhirnya bisa juga gue duduk di dalam bus ke-2 yang harus dinaiki untuk menuju Dieng. Pemandangan dari tempat duduk di bagian paling depan bis kecil ini sangatlah premium: sebuah gunung yang menjulang tinggi, dilatari langit biru dan awan putih.

Cuaca yang cerah menambah kesan megah dan agung dari gunung yang hanya bisa gue lihat dari kejauhan, dari bawah. Gue pun cuma bisa membatin: “Wah, keren banget ya gunungnya.”, a very typical response from someone who is only familiar with Gunung Agung and Gunung Sahari.

Bus kecil itu mulai berjalan perlahan. Setelah kurang lebih setengah jam melalui jalan datar dan tidak terlalu berkelok, perjalanan 1,5 jam berikutnya mulai diisi dengan belokan tajam, tanjakan, dan jalan yang semakin berkontur. Pemandangan yang semula didominasi oleh bangunan padat pertokoan mulai digantikan dengan rumput hijau, pepohonan, dan bangunan berjarak. Awalnya gue belum paham dimana sesungguhnya gue ini. Setelah sampai di tempat tujuan dan punya waktu untuk bengong sedikit, akhirnya gue baru sadar: di sinilah gue, gue berdiri di gunung yang 1,5 jam lalu gue lihat dari bawah sana, dari Terminal Mendolo. Gue sudah sampai di Dieng. Sampai sorenya gue masih kaget dan terkagum-kagum bahwa perjalanan 1,5 jam dengan bis kecil tadi, melewati jalanan berkontur dan belokan curam tadi, adalah bagian dari gunung yang gue lihat dari bawah, gunung yang begitu megah dan agungnya. I’m on it.

Setelah terkagum-kagum dengan perjalanan menuju ke Dieng, gue dibuat kagum juga dengan cerita yang gue temukan di Dieng.

Ada satu tempat yang gue kunjungi saat ke Dieng, namanya Kawah Candradimuka.

Kawah Candradimuka yang penuh dengan asap

Konon, area ini adalah area tempat Gatotkaca digodok untuk menjadi Sakti Mandraguna. Sakti Mandraguna sendiri berarti: tidak hanya diharapkan untuk bisa ditempa dan mendapatkan kemampuan atau keahlian melalui kerja keras, tapi keahlian dan kemampuan tersebut juga diharapkan agar menjadi berguna untuk banyak orang.

Kalau boleh gue refleksikan lebih jauh, terkadang gue pribadi merasa sangat entitled dengan kemampuan atau pelajaran dari pengalaman hidup yang gue alami. Seringkali proses yang tidak menyenangkan ini membuat gue enggan untuk membagi pengalaman atau ilmu yang gue dapatkan, atas nama kesulitan yang gue tanggung sendiri selama prosesnya.

Sedangkan dari cerita Gatotkaca, gue belajar bahwa: bisa saja kesulitan dalam hidup dan pelajaran ilmu yang diberikan, hanya satu dari sekian banyak tantangan yang harus dilalui untuk memenuhi takdir hidup yang sesungguhnya, yakni menjadi berguna bagi orang banyak.

Tentunya semua cerita ini tidak gue dapatkan dari Wikipedia, melainkan gue dapatkan langsung dari penuturan juru kunci di Kawah Candradimuka tadi.

Sesungguhnya selain cerita tentang Kawah Candradimuka dan arti dari kata Sakti Mandraguna, ada banyak cerita yang disampaikan. Tapi karena keterbatasan ingatan gue, hanya 1 percakapan lagi yang masih melekat di ingatan gue sampai sekarang.

Ia bercerita tentang sudut pandangnya dalam melihat kehidupan. Ia percaya bahwa kehidupan ini dengan serangkaian kejadian-kejadiannya, sudah tertulis di dalam Kitab Negarakertagama. Apa yang kita lakukan sekarang hanyalah menjalani dan menghayati betul takdir yang sudah tertulis itu. Pembangkangan dari takdir yang tertulis akan dikoreksi dengan bencana, atau kejadian alam lainnya, yang berfungsi untuk mengembalikan keseimbangan alam dan mengembalikan takdir kehidupan sebagaimana yang sudah tertulis.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bagaimana pengetahuan dan teknologi pada akhirnya akan menjelaskan apa-apa yang sudah dituliskan dan ditakdirkan. Logika manusia adalah buffer atas kepercayaan terhadap takdir. Kira-kira itu kesan yang gue tangkap dari berbagai cerita dan kalimat yang disampaikan.

Saat mendengar cerita ini, di kepala gue langsung terputar bagaimana justru gue melihat hal sebaliknya. Keimanan manusia terhadap sesuatu adalah buffer dari apa yang akhirnya bisa dijelaskan oleh logika. Saat logika bisa menjelaskan sebuah kepercayaan, gue yakin manusia (setidaknya, manusia yang menulis tulisan ini) justru akan memiliki kepercayaan yang lebih dalam dan lekat tentang keimanannya.

Tapi sesaat setelahnya, masih sambil mendengarkan cerita Sang Juru Kunci, gue pun merasa kalau gue perlu mendengar ini, gue perlu mendengar cerita dan sudut pandangnya. Karena dari penuturannya lah gue tersadar bahwa perbedaan pandangan kami, toh akhirnya menemukan titik temu juga. Terlepas dari pandangan kami tentang keimanan dan logika, bagaimana hidup ya, bagaimana kita menjalaninya saat ini.

Cerita-cerita dan pengalaman ini yang membuat gue selalu ingin jalan-jalan lagi. Ya, mudah-mudahan segera.

--

--

yessi
yessi

Written by yessi

0 Followers

likes to romanticize tragedy. because some of the most beautiful things happen at the most unfortunate events.

No responses yet