beberapa waktu yang lalu, gue pernah pulang dianter driver ojol dari senayan ke rumah. ini kira-kira udah mau jam 12 malem, dan biasanya driver jarang yang mau nganter ke area rumah karena jauh.
jadi pas ada driver yang ngambil, biar lama pun tetep gue tungguin.
saat driver-nya dateng, jujur gue agak kaget sih liat motornya. kira-kira bentuknya begini.
motornya itu Honda Astrea. mungkin enggak tepat kayak gambar di atas, tapi gue inget banget kalau dari tempat gue duduk, keliatan si kuping samping kanan-kirinya itu loh.
sebenernya selain gue udah jarang liat motor ini di Jakarta, gue juga kaget karena untuk sebuah motor lama (menurut gue), kondisinya bener-bener masih bagus banget. I can tell that he is taking a very good care of it.
unik motornya, unik juga driver-nya. berbeda dari driver kebanyakan yang biasanya bisa diciri dari jaket motor yang dipakai, driver ini tampilannya kasual banget. kayak, habis lari di GBK — long sleeve hitam, celana basket biru metalik, dan sepatu basket putih.
malam itu, kebetulan gue pakai dress selutut. jadi agak susah untuk melangkah naik ke atas motor. sebab itu, gue ijin ke driver-nya,
“mas, maaf ya saya naiknya sambil pegangan.”
saat beberapa milimeter lagi telapak tangan gue sampai di pundaknya, dengan cepat (hampir seperti kaget setengah refleks) dia menjawab,
“eh eh eh, jangan! jangan, bu!”
gue pun kaget dan gak jadi pegangan. belum sempet nanya kenapa, dia melanjutkan dengan,
“saya keringetan banget ini, bu habis lari tadi. bajunya juga masih basah banget. nanti ibu megang keringet saya, he he he”
beberapa detik pertama, gue kaget, karena takutnya mungkin ada luka atau bekas kecelakaan sesuatu di bahunya dia yang mungkin akan sakit kalau gue pegang.
“astaga, mas, kirain kenapa. yaudah saya pegangan jok belakang aja deh.”
dan awal perjalanan bersama motor Astrea ini hanya poin pertama yang membuat perjalanan gue malam itu sangat berkesan.
memang tidak selalu, tapi gue rasa gue lebih sering ketemu driver yang suka ngajak ngobrol sepanjang perjalanan. meskipun kadang suara driver-nya susah didengar karena kuping gue ketutupan helm dan harus konsentrasi memfilter suara angin (dan obrolan atau pertanyaan yang kadang kurang nyaman untuk dijawab), sebetulnya gue cukup suka kalau diajak ngobrol selama perjalanan.
tapi sejujurnya, malam itu gue cukup capek karena baru selesai ngobrol panjang lebar dengan beberapa teman yang sudah lama gak ketemu. biasanya capek ini efeknya langsung ke badan juga. tapi, for the sake of being polite, gue tetap merespons obrolan gue dan driver malam itu.
awalnya, sih, cuma ngobrol basa basi aja,
“habis darimana, bu?”, “kerja dimana, bu?”
kemudian saat gue kembalikan pertanyaan ke dia, dia pun cerita kalau dia baru di-lay-off dari sebuah startup. berdasarkan ceritanya, dia cukup kecewa karena sebelumnya dia sudah membayangkan jalur karir yang gemilang di kantor tersebut. sebuah keberuntungan yang, menurut dia, sulit dia dapatkan sebagai orang desa yang datang ke Jakarta untuk menyelesaikan Paket C dan hampir tidak lulus kuliah karena harus memilih antara sekolah atau kuliah. jadi saat cerita ke gue, dia merasa lagi ada di posisi reset dalam hidupnya, karena dia harus mulai menata karir dan kondisi finansialnya dari awal. sisa uang pesangon yang dia dapatkan, sebagian dia belikan motor supaya bisa jadi driver ojol.
“daripada saya nganggur dan bengong terus, bu di rumah. narik begini lebih enak, bu. saya jadi bisa selingin lari tadi.”
“oh, masnya memang suka lari ya?”
“ya, suka juga, tapi butuh juga sih, bu. sesekali, kalau ada rombongan, saya jadi pemandu buat orang-orang yang mau naik gunung. jadi badannya harus sehat, fisiknya harus kuat.”
“wah keren banget, mas. semangat ya!”
“hahaha iya, bu semangat terus kok saya ini. makasih, ya!”
setelah ngobrol lebih jauh dan tau kalau gue juga kerja di startup, dia mulai penasaran soal hal-hal yang lebih personal,
“ya soalnya kan setau saya kalau di startup pasti masih muda-muda gitu, bu yang kerja. kayak saya sama temen-temen saya dulu. berarti ibu masih muda ya? umurnya berapa, bu?”
tiba-tiba, seperti baru sadar akan sesuatu, dia menambahkan,
“eh, tapi ini kalau boleh tau aja ya, bu, kalau enggak, maap ya, bu, hehehehe”
setelah gue kasih tau umur gue berapa, dia refleks nengok ke belakang beberapa kali with a comically-surprised face.
“mas, lihat kedepan, dong, nanti nabrak loh kita!” gue respons sambil ketawa.
“oh, iya, maaf ya, bu, eh, mbak, eh, apa adek ya saya ini manggilnya, jadi bingung. seumuran ternyata kita ya!”
“hahaha apa aja boleh deehh.”
“asal jangan manggil ‘sayang’ aja kali ya? he he he.”
sisa perjalanan malam itu isinya cuma cerita basa basi lainnya. tentang hidupnya dia, tentang pekerjaannya dulu, tentang pekerjaannya sekarang. begitu juga dengan gue. gak ngobrolin apapun yang berat, enggak ngomongin apapun yang bermakna, motivasional, ataupun intelektual. bener-bener obrolan antar orang asing yang gak pernah ketemu sebelumnya aja. tapi ada sesuatu yang berbeda, setidaknya buat gue malam itu.
I would say that I am not good at small talks. I blame it partly to my working arrangement for the pas couple years, partly to my experience with strangers, and partly to my gut feeling that seems to can ALWAYS tell if there’s something wrong with people.
diajak ngobrol sama strangers sebetulnya jadi hal yang cukup jarang gue alami, mengingat gue dengan sangat mudah (dan natural) membuat orang malas untuk ngajak ngobrol (shoutout to my natural rbf). tapi biasanya kalau diajak ngobrol pun, gue tidak merasakan apa-apa. yaudah aja, ngobrol.
tapi driver yang ini beda.
perjalanan yang kira-kira 45 menit jadi gak berasa karena isinya obrolan yang rasanya menyenangkan banget, meskipun isinya gak gimana-gimana juga. meskipun gue baru aja menghabiskan berjam-jam ngobrol sama beberapa teman yang sebetulnya membuat gue capek secara psikis dan fisik, tapi setelah ngobrol sama driver ini, alih-alih jadi tambah capek, gue malah merasa keisi lagi energinya.
sesampainya di rumah pun, gue serasa punya banyak energi dan nggak sabar untuk nulis pengalaman ketemu dia sebagai draft pertama tulisan ini.
sembari menulis ini, gue berusaha mengulang lagi memori soal obrolan dan soal vibe yang gue rasakan saat itu. dan gue betul-betul kagum sama driver-nya dan cara dia membawa dirinya.
pembawaannya menyenangkan banget. dia gak membuat gue gak nyaman, gak belagu, gak berusaha menggurui ataupun meninggikan diri, gak berusaha show-off. gue pun bingung untuk menggambarkannya, tapi mungkin bisa sedikit gue deskripsikan dengan:
he shines bright as himself. his energy radiates like a warm-comfy breeze
gue selalu kagum sama orang-orang yang energi positifnya menguar, and I can say that the driver is one of them. gue kagum dengan bagaimana gue bisa merasakan energinya tanpa dia harus berusaha menunjukkannya.
and people always want something they don’t have.