Refleksi Sabtu Pagi — 28/10/2023

yessi
5 min readJun 19, 2024

--

Yes, I do some rituals. I am Indonesian afterall.

Ini semua berawal dari kejadian gue kena “semprot” dari CEO. For context purposes, he is not Indonesian.

Jadi di rapat mingguan kemarin, beberapa kali gue ditegur karena speed kerja gue yang menurut dia: lamban. Dia cukup blak-blakan dalam menyampaikan ketidakpuasannya atas speed kerja gue, dan gue pun sebisa mungkin ̶m̶e̶m̶b̶e̶l̶a̶ ̶d̶i̶r̶i̶ memberikan penjelasan bahwa beberapa pekerjaan butuh proses dan prosesnya membutuhkan waktu, terutama pekerjaan yang sifatnya kreatif. I have a whole other story about how this is even something that I’ve never done before, much why it took me even longer, but let’s just save it for another day.

Dari rapat mingguan itu, terucaplah dari mulutnya dia, kira-kira bunyinya begini,

“kita di (kantor) sini tuh gak perlu lah, apa-apa dilama-lamain atau kebanyakan mikir. lebih baik bergerak dulu, coba dulu, baru belajar.”

Karena ucapan itu, gue mulai berpikir dan membuat daftar,

Penyebab yang (kira-kira) memungkinkan speed kerja gue lamban (menurut CEO gue):

  1. gue memang tidak bisa melakukan pekerjaan tersebut
  2. gue bisa melakukan pekerjaan tersebut, hanya saja gue butuh waktu yang lebih lama dari biasanya
  3. gue memang sudah mulai kehilangan semangat bekerja
  4. ada efek dari budaya bekerja di kantor yang sebelumnya
  5. I started to embrace the true Indonesian in me

And you know what?

I would love to entertain the last thought.

Beberapa waktu lalu, gue sempet denger slentingan kalau orang Indonesia itu terlalu malas. Gue pun mencoba merefleksikan slentingan itu ke diri gue sendiri dengan melihat rutinitas gue di kantor lama.

Dulu, gue rasa gue cukup pagi kalau datang ke kantor. Kira-kira 1 jam sebelum “waktu sewajarnya” (whatever this means) karyawan lain datang. Selain karena gue tidak terlalu suka jalan terburu-buru, gue pun butuh siap-siap dulu di kantor. Jadi, supaya gue punya waktu untuk itu semua, ada baiknya gue datang lebih pagi.

Sesampainya di kantor, biasanya gue akan make-up dulu. Setelahnya, barulah gue melipir ke samping kantor untuk beli sarapan dan makan di meja, order online, atau, melipir ke sebrang kantor untuk sekalian sarapan di kantin. Menu favorit: indomi goreng dan es kopi susu (terima kasih, Pa, sudah menurunkan kebiasaan dan selera makan yang cukup buruk).

Adapun sarapan di kantin ini gue lanjutkan dengan bengong-bengong atau scroll-scroll sosial media dulu. Kalau kebetulan ketemu atau ditanya teman kantor yang lain, bisa aja mereka join sarapan yang kemudian kita lanjutkan dengan ngobrol-ngobrol sampai….manager datang atau ada rapat pagi. Memang, enggak setiap hari sih seperti ini. But I can confidently say that I do this at least once a week.

“Ritual” pagi ini gue lakukan untuk “membangun mood” (again, whatever this means). Tapi sejujurnya, seringkali gue butuh menyalakan kesadaran dan konsentrasi sebelum bekerja. Supaya isi kepala dan pikiran bisa fokus ke pekerjaan. Harapannya adalah agar apa-apa yang terpikir selama di kantor ada kontribusi positifnya terhadap progres pekerjaan. Kebiasaan ini, or for the sake of sticking with the theme AND embracing the true Indonesian in me, let’s call it, ✨ritual✨.

Ritual tuning in ini sebetulnya gue rasakan semenjak kuliah, tepatnya semester 5. Setelah menyadari betapa berharganya kesempatan belajar yang gue punya saat ini, gue mulai memberikan sedikit lebih banyak usaha dalam belajar.

Kelas setelah jam makan siang adalah ujian terberat untuk gue saat kuliah, karena sudah pasti makan nasi pecel Takor lengkap dengan jamur goreng, tahu-tempe, dan ayam goreng yang rasa bumbu pecelnya bikin lupa beban hidup, membuat jiwa dan raga gue kenyang sampai dua hari ke depan. Belum lagi hawa dingin dari AC kelas di tengah cuaca Depok, UDAHLAH. Kombinasi perut super kenyang dan hawa yang sejuk adalah kombo mematikan untuk isi kepala gue bisa berkonsentrasi penuh selama kurang lebih 2 jam 45 menit. Belum lagi saat semester 5, sebagian besar kelas setelah makan siang adalah kelas-kelas berat seperti: Teori Sosiologi Kontemporer dan Sosiologi Agama.

Sebagai mahasiswa Sosiologi (saat itu) tentu saja kelas teori ini sangat fundamental. Jadi gue betul-betul harus tune in dengan pembahasan 2 jam 45 menit tentang teori yang menjelaskan fenomena di masyarakat untuk kemudian digunakan sebagai dasar analisis dari fenomena sosial serupa. Jurusan belajar yang sebagian besar isinya memang menganalisis dan menjelaskan fenomena sosial ini tentu saja membutuhkan kemahiran gue dalam memahami teori yang relevan dan menjelaskan relevansinya terhadap fenomena yang akan dibahas.

Pada siang-siang dimana “kebetulan” kepala gue sedang tune in, kelas ini selalu menjadi kelas yang menyenangkan dan salah satu dari banyak kelas yang sampai sekarang membuat gue selalu ingin kembali kuliah. Tapi di saat-saat isi kepala gue tidak tune in, rasanya waktu melambat dan gue betul-betul tidak tahan untuk segera keluar dari kelas. Not to mention the hours I need to have to catch up with the materials I missed in class.

Dari pengalaman tersebut, gue jadi berpikir, apakah dugaan gue benar bahwa “ritual” sebelum kerja gue dibangun dari usaha untuk tune in semasa kuliah? Tuah buat seorang yang milih jurusan kuliah dengan cap cip cup (re: gue) adalah usaha ekstra yang harus dilakukan supaya konsentrasi di dalam kepala gue optimal dalam menyerap informasi di dalam kelas. Tanpa gue sadari, ✨ritual✨ini ternyata terbawa sampai gue kerja.

Semenjak pindah ke kantor baru yang tidak lagi mengharuskan gue untuk datang ke kantor secara fisik, tentunya ✨ritual✨pagi itu hilang. Tidak ada lagi “sarapan Jumat pagi” di kantor dengan rekan kerja sampai jam 11 siang yang kemudian dilanjutkan dengan “makan siang” di mall terdekat sampai jam 2 siang untuk kemudian “kerja” sampai jam 5 sore dan ditutup dengan “nongkrong” sampai tengah malam, atau setidaknya, sampai mall tutup. Semua dengan orang yang sama.

Awalnya hal ini tidak menjadi masalah. Sampai, gue harus mengerjakan sesuatu yang membutuhkan “kreatifitas” to some extent.

Gue selalu percaya bahwa gue bukanlah orang yang kreatif. So I need all the help to channel whatever creativity I have in me. Jadilah ✨ritual✨untuk membangun mood ini sedang kembali gue cari dan lakukan akhir-akhir ini.

Sejauh ini, jujur gue cukup merasakan bedanya. Saat-saat dimana gue merasa “tidak mood” (atau kalau gue bandingkan dengan situasi kuliah dulu, tidak tune in), pekerjaan kreatif ini cenderung lebih lama gue kerjakan. Bahkan kadang tidak selesai atau tidak gue kerjakan sama sekali.

Sebaliknya, saat-saat gue in the mood atau tuned in, gue cenderung lebih cepat dan menikmati proses kerja ini. Hasilnya pun lebih cepat, memuaskan, dan (kebetulan) minim revisi dari sang ̶d̶i̶p̶e̶r̶t̶u̶a̶n̶ ̶a̶g̶u̶n̶g̶ CEO.

Tapi, untuk mereplikasi ✨ritual✨tersebut, tentu saja gue perlu tau what constitutes the ✨ritual✨. So far, a few things that I am certain about are:

  1. I have to go out.
  2. It can’t be way too far or somewhere that will take a lot of time to go to. I tend to lost the mood faster if I spent way too long to commute
  3. It has to have coffee
  4. It is best when it’s quiet.

Nomor empat ini yang paling mengejutkan, literally, karena sebelumnya, ✨ritual✨ ini bisa saja gue lakukan di tengah keramaian. Takor: ramai. Kantin kantor: tiap pagi ramai. Sarapan di kafe dekat kantor bersama teman kantor lain: ya jelas banget ramainya. Dugaan gue, nomor empat ini adalah akulturasi (don’t ask me what this means) dari budaya baru yang gue adopsi selama kerja di kantor baru.

NOW, this ✨ritual✨ debacle makes me think:

Kenapa ya ✨ritual✨ ini tetap terbawa dan bahkan ada bentuk adaptasinya, bahkan setelah gue tidak kuliah lagi? Bahkan setelah kondisi pekerjaan gue berubah?

Kenapa ✨ritual✨ ini tetap menempel dan bahkan menjadi jawaban, obat, penawar di saat gue bisa saja (dan..mungkin saja) sebetulnya sudah kehilangan semangat bekerja?

Kenapa ✨ritual✨ ini seakan menjadi konstanta (again, don’t ask me what this means) di tengah kehidupan gue yang sudah pelan-pelan berubah formulanya?

Apakah ✨ritual✨ ini adalah bentuk alam bawah sadar gue yang secara tidak langsung memberikan sinyal untuk mencari kenyamanan dan kepastian di tengah ke-blaem-blaem-an hidup ini?

Apakah ✨ritual✨ ini adalah bentuk jeritan inner Indonesian in me yang pelan-pelan tergerus akibat pekerjaan???

Ntahlah..

--

--

yessi
yessi

Written by yessi

0 Followers

likes to romanticize tragedy. because some of the most beautiful things happen at the most unfortunate events.

No responses yet