Understanding Javanese Wisdom Through The Lens Of Mbak-Mbak Jakarta

yessi
9 min readFeb 20, 2025

--

Banyak hal dalam hidup yang “terjadi dahulu, baru make sense kemudian”. Dan cerita ini, adalah salah satunya.

Sebelumnya, gue membagi cerita tentang solo trip Jakarta-Bali tahun ini. Selain menyelami romantisnya doa dan harapan lewat nama-nama PO bus, ada pelajaran lain yang gue dapat dari solo trip kemarin.

Dengan sadar dan sengaja, gue menghabiskan total (kurang lebih) 27 jam menempuh perjalanan darat dari Jakarta menuju Bali. Hal ini gue lakukan untuk memenuhi tujuan dari solo trip kali ini:

Bengong-bengong sepanjang perjalanan.

Kalau dijabarkan, begini detilnya:

  • Naik bus dari Jakarta sampai Solo (-+ 10 jam)
  • Naik mobil menempuh Solo-Wonosobo-Karanganyar-Tawangmangu-Solo (-+ 6 jam)
  • Naik kereta api dari Solo sampai Banyuwangi (-+ 8 jam)
  • Naik kapal laut dari Ketapang sampai Gilimanuk (-+ 1 jam)
  • Naik bus dari Gilimanuk sampai Denpasar (-+ 3 jam)

Setelah kurang lebih mencicipi perjalanan darat dengan total 27 jam, akhirnya gue memutuskan untuk kembali ke Jakarta menggunakan pesawat terbang. Ini semua gue lakukan demi kebaikan tulang pinggang gue sendiri.

Banyak sekali hal-hal yang memantik keinginan gue untuk bisa bengong-bengong di jalan. Podcast-podcast ini adalah awal dari rencana solo trip dan niat untuk bengong-bengong selama perjalanan:

Dari hasil dengerin podcast, bengong-bengong 27 jam perjalanan darat, dan ngobrol dengan siapapun yang bersedia diajak ngobrol sepanjang perjalanan, inilah beberapa poin yang gue dapatkan tentang filsafat berkehidupan yang dianut oleh orang Jawa.

[DISCLAIMER]

I do not claim to be an expert at philosophy nor Javanese nor both. These are purely me sharing my notes and thoughts.

Setelah mendengar ketiga podcast tadi, gue jadi berpikir,

“Iya, ya. Sebetulnya apa, bagaimana, dan siapa masyarakat Jawa itu?”

Tentunya jawaban dari pertanyaan ini bisa dengan cukup mudah untuk gue temukan di buku yang pernah jadi bacaan wajib salah satu mata kuliah 10 tahun yang lalu. Sayangnya, judul buku itu sudah tidak gue ingat lagi. Sebab itu, gue memilih untuk menempuh 10 hari perjalanan Jakarta-Bali saja untuk menuntaskan misi ini.

Tinggal di Jakarta secara geografis masuk ke dalam kategori “tinggal di Jawa”, tapi secara budaya gue rasa tidak. Jakarta adalah tempat dari percampuran banyak sekali budaya yang bahkan bisa jadi, akarnya pun sudah tidak terlalu jelas lagi akibat banyaknya campuran berbagai sumber tadi.

Kekaburan akar budaya inilah yang kelak gue rasakan juga sebagai orang Jakarta. Secara keturunan, gue tidak punya darah Jawa. Setiap ditanya, “Mbaknya orang mana?”, gue akan jawab, “Saya orang Jakarta”.

“Oh, bukan, mbak, maksudnya, mbak asalnya dari mana?”

“Ya, saya asli sini, Jakarta”.

“Oh, mbaknya orang Betawi?”

“Eee…iya, ada keturunan. Tapi bukan orang Betawi”.

What seems to be a small talk could extend into a whole conversation about my lineage and my own confusion of what I should affiliate myself with culturally.

Hal inilah yang kelak menjadikan gue tidak memahami beberapa konteks budaya dan mengapa beberapa hal terjadi sebagaimana terjadi. Tentunya sampai derajat tertentu, hal ini bisa gue terima dengan mengucap mantra, “It is what it is, just accept it as it is”. Tapi dari proses ini gue belajar bahwa gue punya batas yang tidak bisa dilewati untuk menerima banyak hal yang tidak bisa gue mengerti. Dan selayaknya manusia sejati, I strive to be knowledgeable now and (maybe) wise(r) later.

Dan dari perjalanan ini, gue mendapatkan jawaban akan banyak hal yang tidak bisa gue mengerti tentang budaya Jawa.

Jadi, Apa Intinya?

In a very millennial-jakartans fashion, tentunya pembaca yang baru menginjak usia 30 seperti gue ingin cepat menuju intinya saja tanpa bertele-tele. Jadi, baiklah, kita format ulang tulisan ini untuk mengungkap intinya terlebih dahulu dan menjelaskan maksudnya kemudian (terinspirasi dari banyak hal yang terjadi dalam hidup gue).

Inti dari filosofi berkehidupan orang Jawa adalah: keharmonisan.

Proses berkehidupan bersama adalah usaha-usaha untuk menjaga keharmonisan dan menjadikan hal ini sebagai tujuan bersama.

Semua makhluk di muka bumi adalah bagian dari kesatuan hidup yang harus dijaga keharmonisannya. Ego tiap-tiap orang sah untuk ditekan atas nama menjaga keharmonisan. Eksistensi setiap makhluk sudah tertulis dalam takdir dan setiap makhluk harus menjalani peran sesuai takdirnya dengan sungguh-sungguh.

Berikut turunan dari dasar filosofi ini, berdasarkan hal yang gue lihat, cerita yang gue dengar, dan pengalaman yang gue alami.

Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Secukupnya

Dulu, gue heran kenapa beberapa orang bekerja dengan sangat lambat sekali? Apa yang membuat proses kerja membutuhkan waktu yang panjang?

Dari perjalanan ini, gue belajar bahwa, pekerjaan punya makna yang lebih luas dan dalam bagi tiap-tiap orang.

Seperti yang sudah gue sebutkan sebelumnya, inti dari filosofi berkehidupan yang dianut adalah menjaga keharmonisan. Sebab itu, segala tindakan dan keputusan sepatutnya dilakukan dengan hati-hati dan sesuai batasnya, untuk menjaga keharmonisan bersama. Setiap keputusan dan tindakan baiknya diketahui dan ditimbang betul efek jangka panjangnya terhadap makhluk lain dan kondisi keseimbangan yang sudah tercipta.

Adapun yang pernah (dan dulu sering) gue alami, adalah hasil dari pekerjaan tersebut yang tidak berbanding lurus dengan waktu dan proses kerja yang dibutuhkan. Alasan dari hal ini pun kelak gue pelajari dari salah satu obrolan gue dengan driver selama di Solo.

Ia menceritakan bagaimana hidup untuknya cukup di hari itu saja. Tentu, di satu sisi ini bukan hal yang baik untuk rencana jangka panjang di masa depan. Tapi untuknya, fokus kepada hari ini adalah cara untuk mencegah pikiran terlalu jauh ke depan sehingga lupa mensyukuri hidup hari ini. Pola pikir ini juga yang membantunya untuk mengenal rasa cukup. Jika pekerjaan hari itu sudah cukup melelahkan untuk fisik atau batinnya, jika pekerjaan hari itu sudah cukup untuk mencukupi hidup keluarganya, maka ia cukupkanlah pekerjaan hari itu.

“Hitung-hitung berbagi rejeki dengan yang lain, mbak. Jadi tidak terlalu ada saingan antar sesama penjual soto, atau gudeg. Karena semua percaya bahwa tiap orang bekerja untuk porsi dan rejekinya masing-masing. Semua percaya bahwa semua orang akan dicukupkan kehidupannya, jika mereka pun merasa cukup dengan tidak berusaha untuk mengambil yang bukan hak atau rejekinya”.

Tentunya tidak verbatim, tapi kurang lebih, itulah yang disampaikan driver yang mengantar gue berkeliling selama di Solo waktu itu.

Resisten Terhadap Perubahan

Selain persoalan kerja keras dan kerja secukupnya, ada juga keheranan lain mengenai resistensi terhadap perubahan. Beberapa kejadian yang gue alami sebelumnya, memberikan kesan bahwa perubahan adalah hal yang buruk dan sebaiknya tidak terburu-buru diadaptasi.

Nah, mungkin itulah kuncinya: tidak terburu-buru.

Ada baiknya setiap perubahan atau hal baru yang muncul atau datang ke kehidupan sehari-hari diperhatikan dan diperhitungkan betul kehadirannya. Seperti poin sebelumnya, masyarakat umumnya mengutamakan keharmonisan. Tambahan suatu hal yang baru terhadap kehidupan bermasyarakat yang dianggap sudah “harmonis” atau “seimbang” seringkali dianggap bisa membawa kondisi berkehidupan menjadi “tidak seimbang”. Sebab itu, sesuatu yang “baru” atau “belum dipahami benar” ini, sebaiknya tidak terburu-buru ditanggapi atau direspon.

Ambillah waktu sebanyak-banyaknya untuk mempelajari “hal baru” tersebut sebaik-baiknya. Ambillah waktu sebanyak-banyaknya untuk mempertimbangkan apakah “hal baru” tersebut bisa menggoyahkan kestabilan dan harmoni berkehidupan yang sudah diusahakan bersama-sama selama ini atau tidak.

Lamanya waktu dan panjangnya pertimbangan dalam mengambil keputusan inilah yang sekilas membuat masyarakat Jawa terkesan resisten terhadap perubahan.

Tapi, gue punya argumen lain.

Bisa jadi juga, ini adalah bentuk menyadari dan menerima betul posisi dan peran masing-masing. Bisa jadi, inilah bentuk keyakinan masyarakat terhadap takdir kehidupannya. Sebab itu, tiap-tiap orang berusaha untuk menjalankan posisi dan peran yang sudah ditakdirkan, alih-alih mengadopsi sebuah elemen eksternal berupa “perubahan”.

Mengagungkan Sebuah Pekerjaan/Status Sosial Tertentu

Tentunya tidak asing untuk melihat beberapa orang mengidolakan sosok-sosok tertentu. Bisa jadi karena keindahan parasnya, kemahirannya dalam melakukan sesuatu, atau karena terlahir dari keluarga terpandang.

Hal ini juga yang memantik rasa penasaran gue: apakah karena tidak bisa memilih untuk terlahir di keluarga tertentu menjadikan beberapa orang mengagungkan atau menginginkan untuk menjadi bagian dari atau mengidolakan sosok-sosok tertentu?

Sepertinya, tidak juga. Bisa jadi ada elemen citra yang ter-(atau di-)bangun akibat afiliasi seseorang dengan kelompok tertentu. Di jaman feodal dulu, bisa jadi ini berkaitan dengan raja, keluarga raja, kerabat raja, dan seterusnya, tergantung kepada strata sosial yang berlaku.

Tapi, mengapa begitu?

Mungkin, hal ini berasal dari kepercayaan mendasar bahwa perbedaan peran dan posisi satu sama lain di masyarakat sifatnya vertikal. Perbedaan posisi dan peran yang ada tidak hanya terjadi secara horizontal atau setara, melainkan punya tingkatan dan stratanya masing-masing. Hal ini bisa jadi berasal dari keahlian tertentu yang dimiliki seseorang dalam menjalankan pekerjaan atau peran tertentu di dalam masyarakat.

Misalnya, beberapa pekerjaan seni di masyarakat Jawa mensyaratkan banyak laku ritual yang harus dihayati dan diikuti benar dengan disiplin. Penghayatan spiritual dan disiplin menjalani ritual ini dianggap menjadi sebuah prasyarat yang belum tentu bisa dilakukan sebagian besar orang. Sebab itu, masyarakat yang menjalani profesi di bidang kesenian memiliki status sosial dan budaya yang seringkali “lebih tinggi” diantara masyarakat Jawa lainnya.

Faktor bakat, keturunan, dan budaya keluarga serta masyarakat tentunya menjadi faktor lain (bisa jadi utama, bisa jadi pendukung) yang memperkuat kesahihan perbedaan status ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat. Jika penghayatan spiritual dan kedisiplinan bisa pelan-pelan dilatih dengan komitmen terhadap pekerjaan, tentunya bakat, keturunan, dan budaya menjadi faktor yang belum tentu bisa dimiliki oleh banyak orang.

Lingkungan membentuk kebiasaan dan pengetahuan seseorang akan suatu (atau banyak) hal. Lingkungan dan kebiasaan serta pengetahuan yang dimiliki tiap orang tidak hanya terbentuk dari pengalaman seseorang terhadap kedua hal tersebut. Melainkan, dibentuk kembali oleh interaksi antara pengalaman yang terjadi dengan refleksi internal seseorang terhadap apa yang terjadi kepadanya. Respons seseorang terhadap proses tersebut juga mempengaruhi interaksi eksternal dan internal yang terjadi di dalam lingkungan tersebut. Siklus interaksi inilah yang menjadi salah satu “faktor lingkungan” yang tidak bisa dikontrol, ataupun belum tentu dialami semua orang.

Keunikan pengalaman serta faktor-faktor yang belum tentu bisa dialami oleh semua orang inilah yang akhirnya menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat percaya bahwa perbedaan peran dan posisi bersifat vertikal. Kepercayaan akan struktur vertikal inilah yang menjadikan masyarakat mengakui adanya peran dan posisi yang lebih “berat” untuk dijalankan. Keyakinan ini yang kemudian menjadi alasan masyarakat dalam menahbiskan beberapa posisi dan peran tertentu (atau tertinggi) dalam masyarakat.

Catatan-Catatan dan Refleksi (bukan pijat) Penting

Jalan-jalan tahun ini mengingatkan gue bahwa banyak hal dalam hidup gue yang akan masuk akal dan bisa gue pahami kemudian. Salah satunya adalah frustrasi dan kebingungan akan banyak budaya dan filosofi hidup masyarakat Jawa yang tidak bisa gue mengerti (saat itu), dan akhirnya bisa gue tuliskan dan jelaskan sebagian dalam tulisan ini.

Termasuk perspektif sosiologis yang mungkin secara sadar dan tidak sadar, selalu gue kenakan, baik selama perjalanan maupun selama gue menuliskan kembali catatan ini. Mungkin, ini juga bagian dari hal-hal yang akhirnya masuk akal, tentang kenapa Sosiologi menjadi bagian dari hidup gue (yang juga tidak gue pahami saat kuliah dulu).

[DISCLAIMER (lagi)]

In no way by sharing my notes means that I completely ignore the downside of the philosophy.

In no way I’m completely blindsided by the negative byproducts of the culture. I chose to highlight the good takeaways I can get from what I knew, experienced, and reflected. Or in other words, ambil baik-baiknya, buang yang buruk-buruknya.

Tentunya di tengah hustle culture dan keinginan untuk menumpuk berbagai sumber daya (finansial, sosial, budaya, gabungan ketiganya untuk kemudian dipertahankan secara turun temurun), perspektif ini memberi angin segar untuk membantu gue mengatur ulang isi kepala dan hati di tengah gempuran hidup yang menuntut untuk menjadi serba cepat, serba bisa, dan serba ada.

Beberapa pertanyaan reflektif yang muncul setelah menyelesaikan tulisan ini:

  • Mana kepercayaan dan prinsip yang masih relevan untuk dipegang sampai beberapa tahun ke depan?
  • Mana perspektif yang harus disesuaikan atau dipikirkan ulang?
  • Mana pilihan-pilihan hidup yang sepertinya perlu dipikirkan kembali?
  • Apa aspek yang perlu digali lagi secara fundamental?

Now I understand why some people love to stare into oblivion in the morning while having a coffee and a cigarette.

Karena Tahu, Jadi Paham, Bisa Menerima, Dan Kembali Percaya

Beberapa hal dalam hidup (gue) terjadi dahulu, baru masuk akal kemudian. Entah karena memang begitu, atau secara tidak sadar ada perlawanan dalam diri gue yang mengantarkan gue kepada perjalanan untuk mencari tahu kenapa dan bagaimana hal-hal tersebut terjadi yang akhirnya, bisa membantu gue untuk memproses dan menerima hal-hal yang terjadi tersebut dengan lebih baik nan legowo.

Perjalanan kali ini juga memicu rasa penasaran gue akan filosofi berkehidupan masyarakat di daerah lain: Sumatera, misalnya. Hasan Nasbi di podcast Malaka Project (Hasan Nasbi Puluhan tahun Meneliti Tan Malaka!) sedikit memberikan petunjuk akan filosofi orang Sumatera yang banyak didasarkan pada alam (alam takambang jadi guru, misalnya).

Kalimat ini kemudian membuat gue penasaran, seperti apa filosofi berkehidupan di daerah yang lain?

Secara kebetulan juga, setelah gue ingat-ingat lagi, ada 2 kenalan baru yang akhir-akhir ini sering gue temui secara tidak sengaja. Kebetulan sekali keduanya adalah orang asli Sumatera. Inikah petunjuk dan/atau kebetulan lain untuk melakukan perjalanan selanjutnya?

Ya, kita lihat saja nanti…

--

--

yessi
yessi

Written by yessi

0 Followers

likes to romanticize tragedy. because some of the most beautiful things happen at the most unfortunate events.

No responses yet